DENPASAR – Mengacu data BPS yang dilansir pada Februari 2019, setidaknya tercatat 5.594 desa dan kelurahan di Indonesia yang memiliki sarana penginapan hingga akhir tahun 2018. Sedangkan, keberadaan fasilitas hotel tercatat ada di 4.058 desa dan kelurahan. Keberadaan desa dan kelurahan dengan fasilitas hotel dan penginapan ini jumlahnya kira-kira di bawah 10% dari total 60.048 desa di Indonesia.

Adanya fasilitas berbagai akomodasi yang tersebar di ribuan desa ini sudah barang tentu modal riil bagi pengembangan tujuan wisatawan di sejumlah daerah tersebut. Namun, di banyak desa dan kelurahan dengan potensi destinasi wisata, fasilitas akomodasi bahkan nyaris tidak memadai atau bisa disebut tidak ada sama sekali. Sekadar contoh, di kawasan Simarjarunjung, Simalungun, Sumatera Utara, potensi wisata di pinggir kawasan Danau Toba itu hanya dapat dinikmati sepintas lewat oleh para wisatawan.

Bagi turis yang ingin menginap, pilihan akomodasi terdekat berada di Kota Parapat, kota di pinggir Danau Toba. Sedangkan turis lainnya, memilih menginap hotel atau pengianapan yang berada di Kota Berastag atau di Kota Medan dengan jarak tempuh lebih dari 3-4 jam ke kawasan Danau Toba. Dengan kunjungan turis yang singkat itu, eksplorasi terhadap berbagai atraksi budaya lokal dan keindahan alam di daerah itu hanya berlangsung sepintas. Hal ini di sisi lain tidak memaksimalkan potensi ekonomi masyarakat lokal di daerah itu.

Barangkali kondisi yang sama terjadi pada banyak destinasi wisata lainnya di Indonesia. Apalagi, bila daerah tujuan wisatawan itu relatif sangat baru terekspose, baru dieksplorasi sehingga mengalami gap antara jumlah kedatangan turis dan ketersediaan akomodasi. Dalam jangka pendek, kondisi ini bisa saja justeru merugikan, bahkan menjadi tidak efektif akan upaya promosi dan marketing daerah wisatawan yang dilakukan oleh pemerintah setempat.

Sedangkan untuk membangun fasilitas hotel pada destinasi wisata yang baru itu tidak semua bisa dilakukan dengan cepat. Apalagi mengingat adanya hambatan birokrasi pengurusan perijinan (IMB), retribusi tak resmi, keterbatasan akses infrastruktur jalan, dan fasilitas pembiayaan. Maka pemetaan akan sejumlah kendala tersebut, menegaskan bahwa 5.594 desa dan kelurahan dengan sarana penginapan dan 4.058 desa dan kelurahan dengan fasilitas hotel sudah memiliki modal awal dalam merespon kenaikan jumlah turis pada tahun-tahun mendatang.

Oleh karena adanya potensi gap antara kunjungan turis dan ketersediaan akomodasi itu, maka pemerintah dengan gencar mengembangkan program homestay (pondok wisata) di sejumlah daerah wisata. Pengembangan program ini melibatkan penduduk lokal sebagai pemilik pondok sebagai pelakusaha skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai mitra perbankan atau lembaga pembiayaan dalam menyalurkan fasilitas pinjaman guna membangun atau merenovasi bakal pondok wisata. Sehingga nantinya menjadi lapangan kerja baru dan penyerapan tenaga kerja baru di antara sektor ekonomi masyarakat lokal yang sudah lama ada, misalnya, pertanian, perkebunan, perdangan, dan peternakan.

Dengan pengembangan program ini, kebutuhan akan fasilitas akomodasi bagi wisatawan dapat dipenuhi apalagi dengan meningkatnya target kunjungan 20 juta wisatawan pada 2020. Bahkan, adanya fasilitas homestay yang lebih baik akan menambah waktu tinggal para turis. Efek bergulirnya pun bisa dirasakan perajin sektor subindustri kreatif, seperti kerajinan tangan (handycraft), fashion, musik, dan seni pertunjukan seiring naiknya belanja turis selama tinggal menetap.

Berdasarkan data BPS Juli 2019, lama menginap tamu wisatawan mancanegara dan lokal pada hotel klasifikasi bintang sepanjang Mei 2019 rata-rata 1.93 hari naik 0.9 point dibandingkan Mei 2018 sekira 1.84 hari. Pada April 2019, lama menginap tamu wisatawan mancanegara dan lokal rerata 1.83 hari sei 34 provinsi di Indonesia. Jika dirunut menurut provinsi, rata-rata lama menginap tamu yang terlama pada Mei 2019 tercatat di Provinsi Bali, yaitu 2,90 hari, diikuti Provinsi Nusa Tenggara Barat 2,42 hari, dan Provinsi Banten sebesar 2,30 hari. Sedangkan rata-rata lama menginap tamu yang terpendek terjadi di Provinsi Kalimantan Utara sebesar 1,18 hari.

Leave a comment